-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sampai kapan aku bisa menahan perasaan ini. Sebuah rasa yang tak kumengerti. Lama kita bersama namun selalu hal yang bodoh kuperbuat di depanmu.
Ein yang telah berhasil menyelesaikan misinya --menemui Rose-- segera kembali ke Hobbit Smithy. DI Hobbit dia menemui kedua temannya masih berdebat mengenai dirinya sendiri.
“Tidak bisa! Menurutku Ein cocok dengan Cierra.” Kata Chappi sambil memukul meja.
“Apa alasanmu berkata begitu?” balas Claude dengan tenang.
“Kelembutan hati Cierra pasti cocok dengan Ein.”
“Kalau begitu kenapa tidak Fia saja? Bukannya dia yang pertama kali menyambut Ein di Elendia? Dan lagi hati Fia juga sama lembutnya dengan Cierra.”
“Yang aku takutkan Lina malah merasa cemburu. Lupakan aja dua bersaudara itu, Claude. Nanti akan timbul rasa cemburu antara mereka.”
“Kau benar, Chapp. Lalu bagaimana dengan Serene? Ein yang lembut dengan Serene yang cool aku rasa cocok.”
“Entahlah, serahkan saja semua pada Ein. Aku menyerah.” Kata Chappi sambil menghela nafas.
Ein masuk ke Hobbit Smithy --tanpa permisi tentunya-- dan langsung mengambil satu kursi tepat di depan konter. Ia hanya bisa tersenyum-senyum sendiri tanpa alasan yang jelas.
“Kau kenapa Ein?” Tanya Chappi dengan wajah herannya.
“Senyum-senyum sendiri padahal gak ada yang lucu tuh.” Timpal Claude
Ein hanya diam. Ia tidak memperdulikan rasa ingin tahu kedua temannya. Sejenak ia melupakan daratan.
Kembali mengingat hal-hal yang telah ia lewati. Pertempuran demi pertempuran dikenangnya kembali. Ah... suatu hal yang menyenangkan. Bebas dan lepas, sama sekali tidak terikat apapun. Itulah yang dipikirkannya.
Tiba-tiba Ein mengingat kembali awal mula petualangannya. Saat Ledah mengajarinya Overdrive, saat Rose yang berwujud kucing selalu memarahinya. Sentak ia mengingat kawannya yang dulu merupakan kucing, Rose, teman seperjalannannya selama ini.
“Banyak hal yang telah kulewati bersamanya.” Ujar Ein dalam sela waktu.
Kembali ia mencoba mengingat setiap detik bersama Rose. Ia ingat saat Rose melarangnya menukarkan Diviner dengan sayapnya. Lalu, ketika Rose mengingatkan Ein mengenai tingkah Hector yang aneh. Sampai ketika perubahan Rose menjadi manusia seutuhnya. Wajah polos Rose saat itu benar-benar tergambar dengan jelas di dalam memori Ein.
Ein masih bingung, mengapa Ia terus memikirkan seorang gadis yang terus bersama dalam hidupnya dalam wujud kucing. Hanya dalam empat tahun terakhir saja Ia dalam bentuk manusia sempurna. Setiap berada di depan Rose, Ein tidak bisa mengatakan hal yang dirasakannya.
“Apa sebenarnya yang kurasakan? Hal apa ini?” Ein kembali berujar sendiri. Claude dan Chappi yang sedari tadi melihat Ein semakin merasa khawatir melihat tingkah temannya yang berbicara sendiri tersebut.
“Hei, Ein. Are ya okay?” Tanya Chappi sambil menepuk bahu sobatnya.
Ein kembali dari lamunannya. Ia hanya menatap kedua temannya yang memasang wajah heran. Dia memasang sebuah senyum simpul di wajahnya. Seakan memberi tanda pada kedua temannya bahwa ia telah mendapatkan secercah cahaya. Raut wajah Ein yang sejak tadi pagi murung akhrinya berubah drastis.
“Aku telah memutuskan siapa yang akan mendampingiku.” Kata Ein seraya berdiri dengan gagah.
Chappi hanya bisa memberikan ekspresi terkejut yang mendalam ditandai dengan mulutnya yang menganga lebar. Claude sebenarnya juga terkejut mendengar pernyataan Ein tadi, namun ia menjaga imagenya dengan tetap diam.
“Siapa dia Ein?” Tanya Chappi sambil menatap mata coklat Ein.
Aku akan mengumpulkan seluruh keberanian yang kumiliki. Hanya untuk satu hal. Menyatakan rasa cintaku yang terpendam selama ini. Aku tidak akan peduli kau menerimanya atau tidak. Hanya ingin kau mendengarku.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pernahkah engkau memperhatikanku? Pernahkah engkau mengingatku? Pernahkah engkau memikirkan perasaanku padamu? Bisakah sejenak sediakan waktumu untukku? Mungkin aku tak seperti mereka bersamamu belakangan ini. Namun kuingin kau menjadi milikku selamanya.
Tok...Tok...Tok
Pintu rumah Fia dan Lina diketuk. Kondisi rumah itu sangat sepi mengingat Ein dan Rose tidak ada di dalamnya.
“Biar aku yang membuka pintu.” Kata seorang gadis berambut kuning juga baju kuningnya. Rambutnya dipisah lalu diikat dua. Dia adalah Lina adik dari Fia.
“Siapa?” kata Lina sebelum membuka pintu. “Oh, Rose. Ayo masuk.” Seraya mempersilahkan Rose masuk.
“Darimana saja Rose? Selarut ini baru pulang?” Tanya Fia yang keluar dari dapur.
“Nggg, aku hanya jalan-jalan di Elendia kok.” “Fia ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”
“Oh silahkan saja. Apa aja boleh kamu tanya kok.”
“Empat mata aja bisa kan?”
Fia memberi isyarat pada Lina untuk kembali ke kamarnya. Lina hanya bisa menurut sambil menggerutu tidak jelas. Ya meski disuruh ke kamar Lina tetap mencari tempat tersembunyi agar bisa mencuri pembicaraan mereka.
“Kamu mau tanya apaan, Rose? Kok mesti pribadi gini?” tanya Fia
“Fia, apa kamu ngerti cinta?” tanya Rose dengan wajah serius
“Ya, sedikit. Itu kan bumbu terakhir dalam setiap masakanku.”
“Bukan yang seperti itu maksudku. Kamu ngerti kan, ketika kamu menyukai lawan jenismu dan semacam itulah.”
“Maaf Rose. Kelihatannya hal ini harus kamu cari tahu sendiri. Aku sama sekali tidak mengerti.” Jawab Fia mengakhiri obrolan mereka.
“Rose sedang jatuh cinta? Wow, dengan siapa ya?” Hati Lina bertanya-tanya yang sedari tadi mendengar percakapan kakaknya dan Rose.
Aku masih belum bisa mengartikannya. Apa benar ini sebuah cinta? Atau hanya karena ikatan batin yang terjadi selama kau dan aku bersama. Apa hanya sebuah ikatan persaudaraan antara kau dan aku? Oh Tuhan berilah aku jawaban atas semua kegalauan hati ini.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tertutup debu dan telah usang. Begitulah hatiku selama ini. Sampai suatu ketika kau datang memberinya cahaya dengan senyumanmu. Namun, apakah kau mau menyentuhnya? Memang tidak pantas diriku bersamamu. Sayang rasaku tak bisa dipendam lagi, harus kungkap semua.
Larut malam di Elendia. Aktivitas desa damai tersebut mati total. Setiap rumah telah mematikan lampunya.
Tinggallah cahaya bulan tersisa di langit nun jauh. Menerangi setiap sudut Elendia. Terkecuali sebuah tempat pembuatan senjata Hobbit Smithy. Lampu disana masih terang benderang.
“Kau yakin Ein?” Tanya Chappi tiba-tiba.
“Ya, Ein. Jangan gegabah pikirkan terlebih dahulu. Menurut hitunganku...” sambung Claude
“Akh, kalian tidak mengerti yang kumaksud.” Ein mulai beridiri. Ia melanjutkan kata-katanya, “Dia telah bersamaku untuk waktu yang lama. Dia selalu ada kapanpun. Dimana ada aku, dia juga ada di sana.”
“Hmmmh... Kami rasa kami tidak bisa menghalangimu Ein.” Kata Claude
“Ya, kalau keputusanmu sudah bulat, kami akan mendukungmu dari belakang.” Timpal Chappi
“Terima kasih teman-teman. Terima kasih sudah mengertiku.” Kata Ein dengan sedikit membungkuk.
“Tapi, bagaimana caramu mengungkapkannya?” lanjut Chappi.
Suasana hening sejenak. Ein terus memutar otaknya dan mencari cara agar hari itu menjadi hari yang takkan dilupakan olehnya dan pasangannya. Dia mendapatkan ide dan langsung memberitahu kan idenya pada kedua temannya.
Awalnya Claude nampak kurang yakin namun Ein percaya caranya ini akan berhasil. Setelah mendengar semua rencana Ein, Chappi bergegas keluar ke tempat si target dan membawa remah roti. Claude juga pergi ke tempat yang akan dijadikan memori tak terlupakan.
Angin malam yang dingin menderu Elendia. Hal itu tidak menyulutkan niat Chappi untuk mendatangi rumah Fia dan Lina. Tepat di depan rumah mereka ia bukannya mengetuk pintu depan, melainkan menaikki sebuah tangga dan mengetuk jendela kamar lantai dua.
Sentak Rose yang berada di kamar itu kaget dan terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Yap benar, target adalah si wanita kucing berbalut baju hitam serta pita hijau, Rose. Melihat Rose yang terbangun, Chappi langsung turun dan menulis sebuah surat.
Kalau kau ingin mengetahui siapa aku
Ikuti jejakku
G A
Rose membuka jendela kamarnya dan mendapati sebuah surat berserta remah roti. Awalnya dia tidak ingin menuruti si G.A tersebut namun dia penasaran siapa yang melakukan ini. Alhasil Rose turun dari kamarnya mengikuti jejak remah tersebut.
“Siapa sebenarnya G.A ini? Mengganggu tidur kecantikanku saja.” pikir Rose dalam hati.
Ia masih mengikuti jejak tersebut. Cukup jauh memang jaraknya dari rumah Fia dan Lina. Ia lelah namun tetap menelusuri remah-remah yang tersebar di Elendia. Ia tiba di ujung remah tersebut. Mendapati sebuah danau yang disinari oleh sang rembulan. Hatinya bingung ia berjalan sejauh ini hanya untuk sebuah danau.
Matanya terbelalak ketika melihat seorang pria berdiri di tepi danau itu. Ia mencoba mengenalinya. Ein!
Begitulah kata hatinya meski ragu. Rose terus mendekati danau tersebut, dia terus menyebut nama Ein di lubuk hatinya.
Pria dengan setelan baju yang sehari2 ia kenakan itu berbalik badan mendengar suara langkah kaki yang mengejarnya. Tak lain dan tak bukan pria tersebut adalah Ein. Ia sudah menunggu kedatangan Rose. Rose kaget dan menghentikan langkahnya, ia memilih untuk berjalan pelan ke arah Ein.
“Apa yang kau lakukan di sini Ein? Selarut ini?” tanya Rose sedikit berteriak karena frustasi.
“Aku menunggumu.” Balas Ein santai
“Apa maksudmu?” masih bertanya dengan nada tinggi
“Rose, aku tidak tahu harus berkata apa.” Ein mulai mendekati Rose. Hingga akhirnya Ia memeluk Rose dengan erat. “Aku mencintaimu Rose.”
Rose yang dipeluk Ein kaget. Dia tidak tahu reaksi apa yang akan dikeluarkannya mendengar pengakuan tiba-tiba Ein ini. Finally dia hanya membalas pelukan Ein dan berkata, “Aku juga mencintaimu Ein.”
“Terima kasih, Rose.” --Errr kissing maybe--.
Mereka saling memadu kasih di bawah sinar rembulan di pinggir danau. Chappi dan Claude hanya bisa terharu di balik semak-semak. Ini adalah awal kisah sejoli baru di dunia.
I don’t believe in love
Love is suck
~Sylvan Lamina Bordeaux~
0 komentar:
Posting Komentar