Minggu, 30 Oktober 2011

PB 9A - Guns, Friends, a Revenge - Chapter 3

Aku berjanji....



Aku akan membalasnya

Pasti.....

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ck, umurku pendek ya. 20 tahun dan aku sudah harus mati. Apa ini bisa membuatku bertemu ayah dan ibu? Ah, tidak mereka berdua pergi ke surga sedangkan aku akan ke neraka. Aku masih belum mau mati. Masih ada hal yang belum terbayar. Masih ada dendam yang belum terbalaskan.

“Lihat! Di sana ada apa!” Aku berteriak dengan harapan para Free Rebels akan teralih perhatiannya dan memberikanku kesempatan mengambil Flashbang atau WP Smoke.

“BODOH! Kau kira kami akan terjebak dengan tipuan seperti itu?!” balas seorang rebel sambil mengokang 870 MCS nya.

Aku hanya bisa menelan ludah. Seharusnya aku tahu cara seperti ini takkan berhasil. Aku hanya melihat ke tanah, tempatku berpijak. Sepatuku,,, sudah usang. Apa masih sempat kuganti?

BLAAAARRRRRR! Tiba-tiba terdengar ledakan. Entah dari mana asalnya aku tidak tahu. Semua rebels melihat ke sana. Good chance. Langsung kutarki Flashbang dari saku kiriku, Ari, Deni dan Aan juga melakukan hal yang sama. Puffftttt. Gas non toxin yang menyebabkan radiasi mata langsung menyebar di sekitar para rebels.

Langsung ku ambil AK SOPMOD kebanggan dan kulepaskan peluru ke tubuh mereka. Duarr. Duarrr. Duarrr. Deni dan Aan juga melakukan hal serupa. Suara decit peluru yang dikeluarkan dari Mummynya Deni begitu nyaring ditelingaku seirama dengan ledakan peluru Spas-15. Hanya Ari yang tidak mengingat senjatanya Dragunov CG.

Kawanan rebels yang tadi mengepung sudah tergeletak. Darah bercipratan di mana-mana. Mayat bergelimpangan. Kami berhasil lolos dari maut. Kuberikan kode pada mereka agar mundur dari TKP. Free Rebels bisa saja memanggil bantuan dengan segera. Untuk mengurangi resiko kematian langsung kugas habis CS ONE kembali ke markas diikuti tiga orang temanku.

Selama perjalanan dari Downtown ke Training Camp otakku terus diperas oleh pemikiran-pemikiran aneh. Mulai dari pria tegap di atas gedung DT, Lex si sniper sampai sebuah ledakan misterius yang entah karena apa. Aku bengong sebentar melepas lelah mengingat kejadian tadi kejadian masa lalu rasanya kembali terulang di ingatanku....

“Oi Lek! Jalan kau!”

Then...

Lega rasanya melihat pintu gerbang Training Camp yang tidak begitu megah. Hanya terbuat dari kayu lokal yang bisa saja runtuh tiba-tiba entah karena waktu atau rayap yang makan.

“Terus kita ke mana sekarang?” Tanya Ari usai memarkirkan Scoopy pinknya (?)

“Melapor. Kita harus melapor ke letnan sekarang!” jawabku dengan nada datar namun tegas.

“Sekarang? Baru juga tembak-tembakan udah ngehadap atasan. Capeklah, tidur dulu kek.” Keluh Deni dengan raut wajah yang begitu letih. Memang melelahkan pertempuran barusan. Meski kami sudah dibina dengan begitu keras di camp, pertarungan sebenarnya jauh berbeda dengan kenyataan.

Kami masih diam di tempat parkir. Berdiri di samping masing-masing motor. Sunyi senyap hening tiada suara kecuali angin malam yang menderu sangat pelan.

Aku menghela nafas. Kutarik dalam-dalam lalu, “Aku akan melapor, kalian kembalilah ke ruangan.”

Mereka bertiga menatapku dengan tatapan heran. Mulut mereka terbuka sedikit, aku tahu mereka akan protes akan keputusanku maka kulanjutkan, “Akan kujelaskan kronologisnya kalian tinggal tenang di kamar.” Mulut mereka kembali tertutup dan langsung pergi ke dormitory (bahasa kerennya asrama).

Sekarang aku sendiri. Masih berdiri di samping CS ONE silver milikku. Kakiku masih gemetaran, trauma karena suasana perang tadi. Hah, aku masih perlu waktu untuk mengumpulkan keberanian dan mengatakan pada letnan kalau kami FAILED!

Tugas menjaga Downtown dari para rebels benar-benar gagal. Bukannya menjaga kami malah terkepung dan melarikan diri. Aku tidak peduli apa yang akan dikatakan letnan nanti, masalahnya adalah kami gagal menjalankan misi dan itu hal yang paling memalukan bagi CT Forces.

Yak, sudah kuputuskan. Tubuhku mulai bergerak, melangkah perlahan menuju kantor Letnan Darwin yang namanya sudah membahana di distrik sini.

Tok...Tok

“Masuk.” Terdengar suara berat dari dalam ruangan. Kubuka pintu dan kudapati letnan sedang duduk di belakang meja. Aku tidak berani menatapnya. Kepalaku hanya tertunduk ke bawah sambil mengingat serentetan perkara yang terjadi saat pertempuran pertamaku tadi.

“Ada apa?” tanyanya

“Lapor! Divisi 27 baru saja menjalankan misi!” Jawabku dengan suara yang tidak begitu lantang seperti biasanya.

“Lalu?”

“Kami gagal.”

“Gagal? Bisa dijelaskan?”

“Free Rebels mengepung Downtown. Jumlah Free Rebels kira-kira 70 orang tadi.”

“Hmmm. Aku rasa salah mengirim newcomers. Baiklah kembali ke tempatmu!”

“Laksanakan!”

Aku membalikkan tubuhku dan keluar dari ruangan yang hawanya mulai berubah sejak kukatakan ‘gagal’ tadi. Kututup pintu perlahan. Fuh, aku tidak menyangka bisa melewati sesuatu yang sulit seperti itu. Hah, kembali kulangkahkan kaki --yang nampaknya sudah tak tahan lagi-- melewati lorong-lorong gedung.

Dormitory, cuma itu tujuanku sekarang merebahkan badan lalu terbang ke alam lain seraya mengistirahatkan seluruh saraf dan ototku. Sepanjang jalan menuju dormitory kepalaku masih dipenuhi rasa penasaran. Mengapa letnan merasa bersalah? Apa dia tahu kalau rebels akan mengepung DT? Lalu, jika ia tahu mengapa memaksakan newcomers seperti divisi 27 untuk terbang ke sana?

Pintu kamarku, sebenarnya pintu kamarku dan teman-temanku. 4 orang tidur di sini bersamaan. Kudorong pintu dan kudapatkan...... yang lainnya sudah terkapar seperti ikan yang tak berada di air. Kelihatannya pertempuran tadi benar-benar menguras stamina mereka. Jujur, aku juga ingin langsung tidur. Kuganti pakaian dengan kaos dan celana pendek dan naik ke atas ranjang. Kuucapkan doa tidur dan menutup mata.

Saat ragaku mulai melayang ke dunia mimpi sebuah panggilan sialan datang

“FAIZ TANJUNG HARAP SEGERA KE RUANGAN LETNAN SEKARANG”

Urghh, aku baru saja merebahkan badanku dan harus berjalan lagi? Whatever, aku cuma menuruti perintah dan ke ruangan letnan itu lagi. Seharian ini sudah tiga kali aku kesana.

Tok...Tok

Kuketuk dulu pintunya sebelum masuk (perlu dicontoh tingkahku ini). Setelah mendengar kata “masuk” dari dalam kubuka pintu.

Letnan mempersilahkan aku untuk duduk.

“Ceritakan, apa yang terjadi saat itu.” Tanyanya dengan nada datar

“Hmmm, aku harus mulai dari mana?”

“Saat pertama menginjakkan kaki di DT.”

Kuceritakan kejadiannya, mulai dari mendapat coklat kejutan hingga pembantaian yang kami lakukan pada sekawanan Free Rebels.

“Kalian membantai 70 orang?” dia merespon dengan sedikit kaget namun tetap datar.

“Aku kira juga begitu, mungkin sekedar keberuntungan.”

“Tapi Lex, dan pria di atas gedung itu tidak kalian bunuhkan?”

“Tidak, aku rasa tidak, mungkin mereka sudah pergi duluan.”

“Atau mungkin mereka berada di atas atap memperhatikan kalian?”

“Kalau benar begitu kepala kami pasti sudah hancur dibuat oleh Lex!” nadaku meninggi entah mengapa

“Aku ragu, tapi kalau benar pria yang kau lihat itu mungkin Valdo.”

Valdo? Aku mulai takut. Batinku terus bertanya. Valdo yang sudah terkenal di khalayak ramai sebagai salah satu kaki tangan ketua Free Rebels.

“Aku tidak tahu mengapa Valdo turun tangan hanya untuk mengurusi Downtown.”

Ya, aku juga setuju dengan perkataan letnan barusan. Untuk apa salah satu orang kepercayaan ketua Free Rebel turun ke Downtown yang saat itu tidak ada istimewanya?

“Sudahlah, kembali ke ruanganmu sekarang.”

Mendengar itu hatiku lega, langsung aku keluar dari pintu letnan itu dan menuju ruanganku (kami?) di dormitory dan mengakhiri hari dengan sebuah tidur yang kurindukan.